Kamis, 18 Februari 2010

THW cry for brother 6 times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang amam terpencil. Hari demi hari orang tuaku membajak tanah kering kuning dan punggung mereka mengahadap langit. Aku mempunyai seorang adik tiga tahun lebih muda dariku, mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku memilikinya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku, ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok dengan sebuah tongkat bamboo ditangannya.

“siapa yang mencuri uang itu?” beliau bertanya,. aku terpaku terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku jadi beliau mengatakan “baiklah, kalu begitu kalian berdua layak dipukul”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi, tiba-tiba adikku mencengkram tangannya dan berkata “ayah, akulah yang melakukkannya.. !”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya dan terus memukul hingga kehabisan napas. Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “kamu sudah berani mencuri dirumah sekara, kejahatan apalagi yang akan kamu lakukan dimasa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati, kamu pencuri tidak tahu malu!’

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku. Tubuhnya penuh dengan luka tap;I ia tidak menitikan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecillnya dan berkata “kak, jangan menangis lagi sekarang, semua sudah terjadi”

Aku masih membenci diriku karena tidak memiliki keberanian untuk mengakui kesalahanku. Bertahun-tahun telah lewat, namun insiden itu kelihatannya seperti baru kemarin terjadi. Aku tidak akan pernah lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu adikku berusia 8 tahun dan aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA kabupaten, pada saat yang sama aku diterima untuk masuk ke universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap; rokok tembakaunnya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut, “kedua anak kita telah memberikan hasil yang sangat bagus, hasil yang sangat bagus.”. ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduannya sekaligus?’

Saat itu juga adikku berjalan keluar kehadapan ayah dan berkata, “ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, sudah cukup banyak buku yang kubaca”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku tepat diwajahnya, “mengapa kau memiliki jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti aku harus mengemis di jalan, aku akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai”

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke wajah adikku yang membengkak dan berkata, “seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku telah memutuskan untuk tidak melanjutkan ke universitas”

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap disamping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas diatas bantalku, “kak, masuk universitas tidaklah mudah, aku akan mencari kerja dan mengirimmu uang”

Aku memegang kertas tersebut diatas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 dan aku 20

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari mangangkut semen di p;unggungnya pada lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai di tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan “ada seorang penduduk dusun menunggumu diluar”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?”

Dia menjawab tersenyum “ lihat bagaimana penampilanku, apa yang akan mereka pikirkan jika tahu aku adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa trenyuh, dan tidak dapat menahan airmataku, aku menyapu debu-debu dari adikku, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “aku tidak peduli pada siapapun! Kamu adalah adikku bagaimanapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu!”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu dan memberikannya padaku “aku melihat gadis-gadis kota memakainya, dan kupikir kau harus memiliki satu”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama, aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menagis, dan menagis. Tahun itu adikku berusia 20 dan aku 23

Kali pertama aku membawa pacarku kerumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan rumah kelihatan bersih sekali. Setelah pacarku pulang, aku menghampiri ibuku, “bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membereskan rumah kita”, tetapi ibu tersenyum dan mengatakan,”itu adikmu yang pulang lebih awal dan membereskan rumah, tidakkah kau melihat luka ditangannya? Dia terluka saat memasang jendela baru”

Aku masuk kedalam ruangan kecil adikku, melihat wajahnya yang kurus serasa 100 jarum jam menususkku. Aku mengoleskan obat pada lukanya dan membalutnya “apakah itu sakit?” aku menanyakannya.

“tidak, tidak sakit. Kau tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan dikakiku setiap saat, itu bahkan tidak menghentikanku bekerja dan…” ditengah-tengah kalimatnya ia berhenti, aku membalikkan badan dan airmataku mengalir deras. Tahun itu, adikku berusia 23 dan aku 26.

Ketika aku menikah dan tinggal di kota, banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau adikku juga tidak setuju, dia mengatakan “kak, jaga saja mertuamu, biar aku yang mengurus ayah dan ibu”

Suamiku menjadi direktur di pabriknya dan menginginkan adikku bekerja padanya sebagai menejer di bagian pemeliharaan, tetapi adikku menolak tawaran tersebut, dan berkeras memulai pekerjaan sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari adikku diatas besuah tangga sedang memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit, suamiku dan aku pergi menjenguknya, melihat gips putih pada kakinya aku menggerutu, “mengapa kau tidak mau mendengarkanku? mengapa tidak kau terima saja pekerjaan sebagai menejer? Menejer tidak perlu melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini”

Dengan tamp;ang serius dia membantah, “ coba pikirkan kakak ipar, dia baru jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan, jika aku menjadi menejer, apa yang akan dicicarakan orang”.

Mata suamiku dipenuhi air mata, aku sendiri terisak-isak, “tapi kamu kurang berpendidikan juga karena aku” dia menggenggam tanganku, “mengapa membicarakan masa lalu?” dia berkata mencoba menghiburku. Tahun itu, adikku berusia 26 dan aku 29 tahun.

Adikku kemudian berusia 30 tahun dan menikahi seorang gadis petani dari dusun itu, dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, siapa yang paling kau hormati dan kasihi? Tanpa berpikir ia menjawab,”kakakku!”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kejadian yang aku sendiri bahkan tidak mengingatnya. “ketika aku masih SD, kami bersekolah di dusun seberang, kami harus menempuh perjalanan 2 jam. Suatu hari ketika pulang sekolah, aku kehilangan sebelah sarung tanganku, dan kakakku memberikan sebelah sarung tangannya kepadaku dan dia hanya memakai sebelah saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba dirumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin. Dia bahkan tidak bisa memegang sendok saat makan, sejak saat itu aku bersumpah, selama aku hidup aku akan menjaga kakakku, dan baik kepadanya..

Aku tidak dapat berkata apa-apa, hanya airmata yang deras membanjiri wajahku.. tidak ada yang mampu menggambarkan kasihku kepada adikku,, terlebih dalam menggambarkan kasihnya kepadaku.

(happy birthday oeppiy.. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar