Kamis, 11 Februari 2010

Klarifikasi soal Debater


Baru-baru ini aku belajar tentang debat ,let’s see.. 5-1+2-0 x 365 days = 2190 x 24 hours = 52560 hours, or 6 years (FYI, that simple math always make me dizzy, so lebih gampang pakai kalkulasi rantai genetic dalam pola2 hereditas) that number includes months of holiday, aidl fitr, Ramadhan, Christmas, august 17th, Easter, teacher’s day, Hanukah, bar mitzvah, and other insignificant holiday like malang tempo doeloe, discount week in Ramayana, or industrial ministry visit in campus..

Bottom line is,, even 6 years sounds great and suppose to be full of experience and achievement, I’m still stuck on “ best 50” in total 55.. the coolest part was, the best 51-55 was senior hi school students, (nah,, I’m jokin’ ! just so you wont kill ur self for being so pathetic)

Benang merah …
Debate atau dalam bahasa Indonesia terjemahan kamus, diartikan sebagai debat, definisinya bermacam-macam:
Satire definition (for sum): debate is arguing something (with ur opponent off course) in order to convince people that you are RIGHT… (Or other is wrong, not effective, illogic, bad, sucks, wacko, or so.. you got it!)
Anti satire definition (for the rest): clash between aversions, in order to express the innumerous hatred, or self objection upon things in life.. Sometimes they argue with them self, namanya perdebatan batin (I know it’s bit excessive)
Aku termasuk penganut satire one, menurutku debat sangat menyenangkan (zzz… obyektifnya mana??) Debat sangat bermanfaat,, logikanya seperti menabung di bank.. (POI?.... don’t bother!) debat bisa mengasah kemampuan berpikir logis, one step ahead ato kerennya: futuristic (atau utopis), banyak manfaatnya lagi…, terlebih dalam public-speaking skill and u know what, write doesn’t count…
In my opinion,, sekarang apalagi sih yang paling gak penting daripada meyakinkan orang banyak kalau kamu yang paling benar, so here’s the simple premises

Ngotot + ngibul logis = bikin orang yakin kalo kamu paling benar,
Ngotot + ngibul = gak penting
Meyakinkan orang kalo kamu yang paling benar = gak penting
(misalnya, debat sama tukang sayur klo harga 1 papan tempe Rp;1500 instead of Rp. 2000 evidencenya market review metro TV, dan berusaha meyakinkan kalo kamu paling benar)

Bikin yakin orang kalo kamu yang paling benar = menyenangkan
(just admit! dapat potongan Rp.500 dari 1 papan tempe,, dikali aja 10 papan = Rp. 5000 bisa nyumbang koin utk prita)

Yang gak penting = menyenangkan..!
(wanna prove??? Again it’s Tempe man....)

Untuk beberapa orang, debater is like the most selfish, ego-centric, g-mau-kalah-percuma-saja-ngomong-baik-baik-pake-bahasa-jawa-kromo-tingkat-tinggi-tapi-tetep-aja-ngotot…person.. tapi sebenarnya pemahaman seperti itu diragukan dan perlu dilakukan uji coba lanjutan,
Recently,, aku melakukan test kecil-kecilan (jangan tanya metodenya) terhadap perilaku debater untuk menunjukan pembenaran atas asumsi mayoritas bahwa mereka adalah makhluk yang paling bissssaaa aja, menang sendiri, keras kepala, dan yang keras-keras lainnya..,, namun sedihnya (sekaligus bangganya) harus ku umumkan bahwa tidak ada pembenaran atas satu pun claim tersebut..
Dibalik appearance yang sengak, congkak, pelit, sadis, malas bikin laporan pertanggung jawaban, ngototan, dan beberapa sifat lainnya yang sangat tidak friendly bagi makhluk sosial (hitungannya orang jawa), debaters sebenarnya quite (….u know) nice..

Category A (pengabdian terhadap orang tua)
Most of debaters punya IPK diatas 3,5 (diatas loh ya…) standart??, argumentnya: banyak mahasiswa lainnya yang bukan debater malah ada yang IPKnya 4.00.. but here’s the rebuttal: berapa banyak mahasiswa non-debater ber IPK diatas 3,5 yang bisa berargumen canggih untuk melegalisasi prostitusi, aborsi, hak homosexual menikah, dengan set of sophisticated mechanism, dan justifikasi yang meyakinkan hanya dengan waktu 7 menit 20 detik,…? None..
Or.. ada berapa banyak mahasiswa non-debater ber-IPK diatas 3,5 yang bisa berargumen canggih mendukukng mosi seperti politicians should not be allowed to own media companies, atau Academy Awards do more harm than good, atau mungkin supports a 35 hour working week, atau berargumen mendukung economic growth as the solution to climate change, atau bisakah mereka support Turkish military action in Kurdistan.,..?? hah..! I don’t think so,,
You see,, debater do that,, they do argue everything without put them self into pergulatan batin dan berlama-lama didalamnya (they got only 30 minutes) which most of mahasiswa non debater can’t argue that way,,
Link-nya: debater is smart person, (waaaayyy… to smart, juz look at definition they made) rata-rata update, even if they’re not updated, they still update (believe me), pengabdian apa yang lebih diharapkan orang tua pada anaknya selain berprestasi, IPK tinggi, lulus kuliah cepet..? (oiya taat kepada tuhan YME: lihat category D) debater do so,, benerkan? Debater adalah anak berbakti, quite nice huh? (if among you debater, yang punya IPK dibawah 3.5,,, shame on you!!!)

Category B (pengabdian tehadap institusi pendidikan)
Most of nowadays debaters are money oriented. You bet that right! Mereka ga bakal mau ikut kompetisi yang hadiahnya dibawah 2 jeti,, jangan salah klo ngiranya hadiah menang lomba bakal dikasih ke kampus, bentuk pengabdiannya berbeda dude, bukan uang (definitely not) bukan juga nama baik kampus yang harum kalau menang (sukur kalo menang, kalo kagak?) my point is, kampus sebagai institusi pendidikan akan sangat terharu kalau mahasiswa hasil didikannya bisa mengamalkan ilmu yang diajarkan, bukan? They thought us to be real person, to be ready to face the real world, right?! Which more-less can’t survive without money.. (there’s no such thing as free even education) logika itu yang coba diajarkan kepada mahasiswanya, which successfully implemented oleh debater. Just imagine how proud kampus pada mahasiswanya (yang debater) saat mereka punya tujuan nyata yang tangible dalam mengikuti kompetisi: menang (dan 2 jeti), universitas sangat terharu melihat produk dididkannya berhasil beradaptasi dengan dunia nyata, (terutama dekan fakultas ekonomi). Compare aja dengan mahasiswa non debater, yang rata-rata ikut kompetisi (limited yang cerdas doank) ga berharap muluk-muluk, yang penting pengalaman dan tambah teman, debater do so (awalnya) tapi ada tujuan jangka panjang, taun depan menang (dan 2 jeti).. you see, pengabdian apa lagi yang bisa diharapkan universitas selain melihat mahasiswanya berhasil menjadi manusia yang sejati, the real one with real purpose (oiya bermanfaat terhadap manusia lainnya: lihat Category C) and debater do so,, bener kan?! Debater adalah mahasiswa berbakti, quite nice huh?! (if among you debater, yang beranggapan yang penting pengalaman,,, shame on you!!!)

Category C (pengabdian terhadap masyarakat/manusia)
No doubt… dalam setiap argument yang dibuat debater, selalu didasarkan pada pancasila (sila pertama kadang-kadang). Segala macam label sosial tidak pernah absent dalam argumentasi yang dibuat, for instants: society acceptance, demands of society, social order, social chaos, social values, social right dan sub-sub right lainnya yang melekat dalam kehidupan manusia seperti (right of woman, right of unborn child, right of labor, dan right2 lainnya) ckckck… sangat berdedikasi bukan?! Merinding kalo ditelaah lebih dalam

Category D (pengabdian terhadap tuhan YME)
Banyak waktu yang terkuras saat mencoba mengungkap tabir yang satu ini.. but then I got it, debater jarang terbuka bila menyangkut vertical relation, 180 degrees if you compare with horizontal issues.. sangat jarang ada debater yang membuat argument tentang religion matter, or god issues unless the motion is science made god redundant and you are opposition, (hah!). Debater sangat jarang menggunakan god influence to determine their argument. Berbeda dengan manusia yang bukan debater yang dikit-dikit mengguanakan pembelaan “dilarang oleh agama dan tuhan” saat menolak ide legalisasi aborsi atau prostitusi atau drugs, atau rokok, atau sex before married, atau gay married (typical, I know,, right?!) atau dalam kasus lainnya seperti “mom is my hero” tipe manusia non-debater akan menyanggahnya dengan “god is the real hero”.. I’m not sayin debater is godless creature, tapi setelah ditelaah lebih mendalam, ternyata itulah esensi pengabdian terhadap tuhan. Pertama, debater lebih malas “membela” tuhan dengan asumsi, god is already good, and that’s truism if you oppose that, where’s the rush if you do challenge? Like two way debate,, (doesn’t mean their chicken) but the only reason challenge debate happens is because that debater stupid (you feel me?).. so they tend to leave god alone, tidak bergantung dan membuat repot tuhan dengan menyertakannnya dalam perdebatan. Kedua, debater lebih ekspresif bila memperdebatkan topik-topik anti ketuhanan, especially when they’re in position to support the motion, mereka lebih provokatif dan sangat bersemangat menikmati tatapan dan cemoohan audience (yang non debater) their turn on (fire..) when making fun of people who oppose them and keep faith in god (regardless). But the good thing, what they did is actually membuat manusia lainnya makin offensive untuk membela tuhan.. you gotta create bad guy so good guy will come (am I right ?!), yang mereka lakukan kadang sangat provokatif, but look at the bright side, keimanan manusia lainnya (non debater) makin tebal.. you see,, they are true martyr.. pengabdian apa yang lebih diinginkan tuhan kepada makhluknya selain upaya membuat makhluk lainnya mendapat hidayah dan kembali kepadanya?? (Seriously.. I have no idea)
Nah… demikianlah,, beberapa hal yang memperlihatkan ke-imutan debater, if you try lil hard (keep pushin’ it) you will see that they aren’t that bad.. hahahaha………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar